Wednesday, 6 January 2016

Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kepemimpinan Islam



BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Menurut kodrat serta irodatnya bahwa manusia dilahirkan untuk menjadi pemimpin. Sejak Adam diciptakan sebagai manusia pertama dan diturunkan ke Bumi, Ia ditugasi sebagai Khalifah fil ardhi. Sebagaimana termaktub dalam Al Quran Surat Al Baqarah ayat 30 yang artinya: “ Sesungguhnya Aku mengangkat Adam menjadi khalifah dimuka bumi”. Dan pada hakikatnya dalam diri manusia adalah pemimpin bagi dirinya, anaknya, keluarganya, dan dalam masyarakat.
Menurut Bachtiar Surin yang dikutip oleh Maman Ukas bahwa “Perkataan Khalifah berarti penghubung atau pemimpin yang diserahi untuk menyampaikan atau memimpin. Dari uraian tersebut jelaslah bahwa manusia telah dikaruniai sifat dan sekaligus tugas sebagai seorang pemimpin. Pada masa sekarang ini setiap individu sadar akan pentingnya ilmu sebagai petunjuk/alat/panduan untuk memimpin umat manusia yang semakin besar jumlahnya serta komplek persoalannya. Atas dasar kesadaran itulah dan relevan dengan upaya proses pembelajaran yang mewajibkan kepada setiap umat manusia untuk mencari ilmu. Dengan demikian upaya tersebut tidak lepas dengan pendidikan, dan tujuan pendidikan tidak akan tercapai secara optimal tanpa adanya manajemen atau pengelolaan pendidikan yang baik, yang selanjutnya dalam kegiatan manajemen pendidikan diperlukan adanya pemimpin yang memiliki kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin








BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Hakikat Kepemimpinan
Dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan keluarga, organisasi, perusahaan sampai dengan pemerintahan sering kita dengar sebutan pemimpin ataupun kepemimpinan.Kepemimpinan secara etimologi (asal kata) menurut kamus Besar Bahasa  Indonesia berasal dari kata  dasar “pimpin” dengan menambah awalan pe menjadi “pemimpin” yang berarti menuntun, menunjukkan jalan dan membimbing.
Dalam bahasa inggris pemimpin disebut dengan leader.Kegiatannya disebut kepemimpinan atau leadarship, namun dalam istilah islam disebut dengan kata khalifah dapat diartikan juga sebagai “pengganti”. Pemakaian kata khalifah   ini terjadi setelah Rasulllah SAW wafat, terutama bagi keempat khalifah (khulafaur rasyidin). Disamping itu ada juga disebut bahwa pemimpin itu denngan istilah “amir” ( yang jamaknya umara) ini diartikan dengan penguasa. Oleh karena itu secara spritual kepemimpinan diartikan sebagai kemepuan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan Allah SWT, baik secara bersama-sama  maupun perseorangan.
Kepemimpinan mempunyai arti yang berbeda-beda tergantung pada sudut pandang atau perspektif-perspektif dari para peneliti yang bersangkutan. Berikut beberapa definisi tentang kepemimpinan antara lain.
Kepemimpinan adalah proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi.[1]
Menurut Rauch dan Behling Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas-aktivitas sebuah kelompok yang diorganisasi ke arah pencapaian tujuan. Sedangkan menurutTead, Terry, Hoyt Pengertian Kepemimpinan yaitu kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok. Menurut hemat kami kepemimpinan adalah suatu aktivitas untuk mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan tertentu.
Adapun kepemimpinan menurut islam adalah usaha menggerakan manusia untuk mencapai suatu tujuan tertentu, baik bersifat ukhrawi ataupun duniawi, sesuai nilai dan syariah islam.[2]

2.2.  Faktor Yang Mempengaruhi Kepemimpinan Dalam Islam
Beberapa faktor yang menjadi kriteria yang bersifat general dan spesifik dalam menentukan pemimpin tersebut adalah antara lain :
a.      Faktor Keulamaan
Dalam Qs. 35 : 28, Allah menerangkan bahwa diantara hamba-hamba Allah, yang paling takut adalah al-‘ulama. Hal ini menunjukkan bahwa apabila pemimpin tersebut memiliki kriteria keulamaan, maka dia akan selalu menyandarkan segala sikap dan keputusannya berdasarkan wahyu (Al-Qur'an). Dia takut untuk melakukan kesalahan dan berbuat maksiat kepada Allah. Berdasarkan Qs. 49 : 1, maka ia tidak akan gegabah dan membantah atau mendahului ketentuan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Dalam pengambilan keputusan, ia selalu merujuk kepada petunjuk Al-Qur'an dan Al-Hadits.
Berdasarkan Qs. 29 : 49, maka seorang pemimpin yang berkriteria ulama, haruslah memiliki keilmuan yang dalam di dalam dadanya (fii shudur). Ia selalu menampilkan ucapan, perbuatan, dan perangainya berdasarkan sandaran ilmu.
b.      Faktor Intelektual (Kecerdasan)
Seorang calon pemimpin haruslah memiliki kecerdasan, baik secara emosional (EQ), spiritual (SQ) maupun intelektual (IQ).
Dalam hadits Rasulullah melalui jalan shahabat Ibnu Abbas r.a, bersabd: "Orang yang pintar (al-kayyis) adalah orang yang mampu menguasai dirinya dan beramal untuk kepentingan sesudah mati, dan orang yang bodoh (al-‘ajiz) adalah orang yang memperturutkan hawa nafsunya dan pandai berangan-angan atas Allah dengan segala angan-angan." (HR. Bukhari, Muslim, Al-Baihaqy)
Hadits ini mengandung isyarat bahwa seorang pemimpin haruslah orang yang mampu menguasai dirinya dan emosinya. Bersikap lembut, pemaaf, dan tidak mudah amarah. Dalam mengambil sikap dan keputusan, ia lebih mengutamakan hujjah Al-Qur'an dan Al-Hadits, daripada hanya sekedar nafsu dan keinginan-nya. Ia akan menganalisa semua aspek dan faktor yang mempengaruhi penilaian dan pengambilan keputusan. Berdasarkan Qs. 10 : 55, mengandung arti bahwa dalam mengambil dan mengajukan diri untuk memegang suatu amanah, haruslah disesuaikan dengan kapasitas dan kapabilitas (kafa'ah) yang dimiliki (Qs. 4 : 58).
Rasulullah berpesan : "Barangsiapa menyerahkan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya."[3]
c.       Faktor Kepeloporan
Berdasarkan Qs. 39 : 12, maka seorang pemimpin haruslah memiliki sifat kepeloporan. Selalu menjadi barisan terdepan (pioneer) dalam memerankan perintah Islam. Berdasarkan Qs. 35 : 32, maka seorang pemimpin haruslah berada pada posisi hamba-hamba Allah yang bersegera dalam berbuat kebajikan (sabiqun bil khoiroti bi idznillah)
Berdasarkan Qs. 6 : 135, maka seorang pemimpin tidak hanya ahli di bidang penyusunan konsep dan strategi (konseptor), tetapi haruslah juga orang yang memiliki karakter sebagai pekerja (operator). Orang yang tidak hanya pandai bicara, tetapi juga pandai bekerja.
Berdasarkan Qs. 6 : 162 - 163, maka seorang pemimpin haruslah orang yang tawajjuh kepada Allah. Menyadari bahwa semua yang berkaitan dengan dirinya, adalah milik dan untuk Allah. Sehingga ia tidak akan menyekutukan Allah, dan selalu berupaya untuk mencari ridho Allah (Qs. 2 : 207)
d.      Faktor Keteladanan
Seorang calon pemimpin haruslah orang yang memiliki figur keteladanan dalam dirinya, baik dalam hal ibadah, akhlaq, dsb.
Berdasarkan Qs. 68 : 4, maka seorang pemimpin haruslah memiliki akhlaq yang mulia (akhlaqul karimah), sehingga dengannya mampu membawa perubahan dan perbaikan dalam kehidupan sosial masyarakat.
Faktor akhlaq adalah masalah paling mendasar dalam kepemimpinan. Walaupun seorang pemimpin memiliki kecerdasan intelektual yang luar biasa, tetapi apabila tidak dikontrol melalui akhlaq yang baik, maka ia justru akan membawa kerusakan (fasada) dan kehancuran.
e.       Faktor Manajerial (Management)
Berdasarkan Qs. 61 : 4, maka seorang pemimpin haruslah memahami ilmu manajerial (meskipun pada standar yang minim). Memahami manajemen kepemimpinan, perencanaan, administrasi, distribusi keanggotaan, dsb.
Seorang pemimpin harus mampu menciptakann keserasian, keselarasan, dan kerapian manajerial lembaganya (tandhim), baik aturan-aturan yang bersifat mengikat, kemampuan anggota, pencapaian hasil, serta parameter-parameter lainnya. Dengan kemampuan ini, maka akan tercipta tanasuq (keteraturan), tawazun (keseimbangan), yang kesemuanya bermuara pada takamul (komprehensif) secara keseluruhan.[4]
Oleh karena itu, mari kita lebih berhati-hati dalam menentukan imam atau pemimpin kita. Karena apapun akibat yang dilakukannya, maka kita pun akan turut bertanggung jawab terhadapnya. Jika kepemimpinannya baik, maka kita akan merasakan nikmatnya. Sebaliknya, apabila kepemimpinannya buruk, maka kita pun akan merasakan kerusakan dan kehancurannya.

2.3. Cara Menyikapi Pemimpin yang Tidak Sesuai Dengan Ajaran Islam
a.      Memberikan Nasihat
Memberikan nasihat kepada penguasa zalim merupakan perintah klasik Allah Jalla wa ‘ Ala kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimas salam untuk meluruskan kezaliman Fir’aun. Ini menunjukkan bahwa nasihat dan ajakan kepada kebaikan merupakan upaya penyembuhan pertama bagi penguasa zalim, bahkan bagi siapa saja yang menyimpang. Para fuqaha’ sepakat bahwa hukuman di dunia bagi orang yang meninggalkan shalat secara sengaja baru bisa ditegakkan bila ia enggan bertaubat setelah diperintahkan untuknya bertaubat. Memerangi orang kafir pun baru dimulai ketika da’wah telah ditegakkan.[5]
b.      Tidak Mentaatinya
Tidak mentaati penguasa yang telah keluar dari tuntunan syara’, baik perilakunya, keputusannya, dan undang-undangnya, telah dikemukakan Al Qur’an dan As Sunnah yang suci. Al Qur’an dan As Sunnah tidak pernah memberikan ketaatan mutlak kepada makhluk. Ketaatan mutlak hanya kepada Allah dan RasulNya. Ini telah menjadi kesepakatan ulama sejak dahulu hingga kini, dan tak ada perselisihan di antara mereka.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Hai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada RasulNya, dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (As Sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir …” (QS. An Nisa: 59)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di dalam tafsirnya berkata, “Perintah taat kepada Ulil Amri terdiri dari para penguasa, pemimpin, dan ahli fatwa.” Ia mengatakan ini bukanlah perkara yang mutlak, “tetapi dengan syarat bahwa ia tidak memerintahkan maksiat kepada Allah. Sebab jika mereka diperintah berbuat demikian, maka tidak ada ketaatan seorang makhluk dalam kemaksiatan terhadap Khaliq. Mungkin inilah rahasia peniadaan fiil amr (kata kerja perintah) untuk mentaati mereka (athi’u), yang tidak disebutkan sebagaimana layaknya ketaatan pada Rasul. Karena Rasul hanya memerintah ketaatan kepada Allah, dan barangsiapa yang mentaatinya, ia telah taat kepada Allah. Sedangkan Ulil Amri, maka perintah mentaati mereka terikat syarat, yaitu sebatas tidak melanggar atau bukan maksiat.” (Tafsirul Karim ar rahman fi Tafsir Kalam al Manan, 2/42)

c.       Mencopot Pemimpin Zalim dari Jabatannya
Pemimpin merupakan representasi dari umat, merekalah yang mengangkatnya melalui wakilnya (Ahlul Halli wal Aqdi), maka mereka juga berhak mencopotnya jika ada alasan yangmasyru’ dan logis.
Menurut Ubnu Khaldun, meminta copot pemimpin yang zalim bukanlah termasuk pemberontakan dan pembangkangan (bughat) apalagi disebut khawarij seperti tuduhan sebagian kalangan, pembangkangan hanyalah layak disebut jika meminta pencopotan terhadap pemimpin yang benar dan adil. Bukti yang paling jelas adalah perlawanan keluarga Husein radhiallahu ‘anhu terhadap khalifah Yazid bin Mu’awiyah. Ibnu Khaldun menyebut Husein ‘Seorang syahid yang berpahala’, atau perlawanannya seorang tabi’in ternama, Said bin Jubeir terhadap gubernur zalim bernama Al Hajjaj. Ketahuilah, yang dilawanoleh kaum khawarij adalah pemimpin yang sah dan adil, yaitu Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Sedangkan yang kita bincangkan adalah perlawanan terhadap penguasa yang zalim dan tiran, sebagaimana yang banyak dilakukan aktifis gerakan Islam di banyak negara saat ini. Tentu nilai perlawanan ini tidak sama.





BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
berdasarkan tulisaan diatas dapat disimpulkan :
1.      Dalam bahasa inggris pemimpin disebut dengan leader.Kegiatannya disebut kepemimpinan atau leadarship, namun dalam istilah islam disebut dengan kata khalifah dapat diartikan juga sebagai “pengganti”. Pemakaian kata khalifah   ini terjadi setelah Rasulllah SAW wafat, terutama bagi keempat khalifah (khulafaur rasyidin). Disamping itu ada juga disebut bahwa pemimpin itu denngan istilah “amir” ( yang jamaknya umara) ini diartikan dengan penguasa. Oleh karena itu secara spritual kepemimpinan diartikan sebagai kemepuan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan Allah SWT, baik secara bersama-sama  maupun perseorangan.
2.      Faktor Yang Mempengaruhi Kepemimpinan Dalam Islam adalah. faktor keulamaan, intelektual, kepeloporan, keteladanan dan manajerial.
3.      Cara Menyikapi Pemimpin yang Tidak Sesuai Dengan Ajaran Islam
yaitu dengan cara Memberikan Nasihat, tidak mentaatinya dan mencopot jabatannya.

3.2. saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari masih banyak kesalahan dan kekurangannya, makadariitu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar lebih baik mendatangnya.




[1] Heri Mohammad, Heri. 44 Teladanan Kepemimpinan Muhammad. (Bandung : Gema Insani, 2010), hal. 49

[2] James A.F Stoner, et al. Edisi II. Management. (Indonesia : Aditya Media, 1996), hal.162

[3] http://media.kompasiana.com/buku/2011/02/14/muhammad-saw-tauladan-kepemimpinan-sepanjang-masa/
[4] Winardi. 1983. Pemimpin Dan Kepemimpinan Dalam Management. Bandung : Alumni

[5] ibid

Metode Pengembangan Dakwah Rosulullah SAW



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Kebiasaaan bangsa Arab sebelum Islam hadir ialah suka menyembah berhala, berzinah, berjudi, mabuk bahkan menganiaya dan membunuh kaum yang lemah. Sejak diutusnya nabi Muhammad menjadi rasul pada tanggal 17 Ramadhan 610 M di Gua Hiro yang membawa ajaran islam (berkebalikan dengan kebiasaan mereka), hal ini dapat mengubah paradigma dan kebiasaan bangsa Arab, sehingga kaum Quraisy terancam kesejahteraannya. Pasalnya, selama ini kaum Quraisy mendapatkan penghasilan dari kebiasaan menyembah berhala dan mendapat kekuasaan atas orang-orang lemah atau budak-budak.
Berbagai cara dilakukan kaum Quraisy untuk mencegah dan menghentikan penyebaran ajaran agama islam yang dibawakan oleh nabi Muhammad. Mulai dari cacian, makian, menganiaya bahkan membunuh kaum muslim meskipun itu sanak keluarganya sendiri, mereka lakukan.
Namun Nabi Muhammad adalah manusia yang telah diutus oleh Allah SWT, bukanlah sembarangan orang. Selain sifatnya yang luar biasa, ia juga mampu menyusun strategi dan metode dalam menjalankan tugasnya sebagai pembawa pesan dari Allah. Berbagai metode dan strategi ia lakukan, mulai dari cara sembunyi-sembunyi, terang-terangan bahkan dengan jalan perang ia lakukan.


B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimankah dakwah sembunyi-sembunyi rosulullah ?
2.      Bagaimanakah Dakwah terbuka rosulullah ?


BAB II
PEMBAHASAN

A.    Dakwah Secara Sembunyi - Sembunyi
Pada tanggal 17 Ramadhan 610 M Nabi Muhammad diutus oleh Allah untuk menyebarkan ajaran agama Islam.“Iqra” begitulah perintah malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad. Nabi Muhammad bingung, Jibril memerintahkannya untuk membaca sedangkan ia tak tau apa yang harus ia baca, sosok cahaya yang munvul dengan tiba-tiba lalu memerintahkan ia membaca itu, tentu membuat Nabi Muhammad bingung dan ketakutan hingga lari ke rumah dan meminta Khadijah untuk meneyelimutinya. Sebagai seorang isteri yang setia, Khadijah mencoba menenangkan nabi Muhammad dengan perkataan yang masuk di akal. Khadijah berkata

“Demi Allah, Allah tidak akan menyusahkan engkau! Engkau adalah seorang yang selalu menghubungi sanak keluarga, selalu menolong orang yang susah, memberikan jamuan pada tamu dan menyampaikan amanat yang mempunyainya”.

[1]Lalu khadijah membawa Nabi Muhammad kepada Waraqah bin Naufal, seorang ahli yang berpengalaman dan juga sepupu Khadijah. Waraqah bin Naufal berkata :

“Demi tuhan yang jiwaku ada di tanganNya, sesungguhnya engkau adalah nabi untuk umat ini.Engkau telah didatangi oleh jibril yang juga pernah mendatangi musa. Dan kelak engkau akan didustakan, disakiti, diusir bahkan kamu akan diperangi oleh kaum mu. Setiap orang yang diutus menjadi nabi sepertimu, pasti dia akan dimusuhi dan diperangi oleh kaumnya. Jika aku ada waktu kamu dimusuhi masih hidup, pasti kamu akan ku bela sekuatku”
Melihat kejadian itu, nabi Muhammad memutuskan untuk menyebarkan ajaran islam kepada orang-orang terdekatnya terlebih dahulu dengan cara sembunyi-sembunyi untuk menghindari pertikaian dan ancaman kaum Quraisy. Sebenarnya Nabi Muhammad setelah mendapat wahyu pertama ia langsung menceritakan kepada kaum Quraisy tentang ajaran Tauhid dan memerintahkan agar tidak berlaku kasar terhadap sesamanya. Namun karenaKaum Quraisy mempunyai hati sekeras batu, akhlak setara binatang, dan juga karena mereka takut akan terancam kesejahteraanya dalam “bisnis berhala”, sebisa mungkin ia menghalau Nabi Muhammad dalam berdakwah. Untuk itu nabi lebi memilih mengalah dengan cara berdakwah secara sembunyi-sembunyi. Dalam berdakwah sembunyi-sembunyi, ia melakukan berbagai metode, salah satunya dengan metode pendekatan personal (dari pintu ke pintu) dan juga dengan metode bil hal (menjadi suri tauladan yang baik bagi umat muslim maupun non muslim). Adapun beberapa metode yang dilakukan rasul selama dakwah secara sembunyi-sembunyi, ialah :

  1. Metode Personal, metode semacam ini terjadi dengan cara individual, yaitu antara Dai dan Mad’u. langsung bertatap muka sehingga materi yang disampaikan langsung diterima, dan biasanya reaksi yang ditimbulkan mad’u langsung diketahui. [2]Pendekatan ini Rasul lakukan untuk mencegah guncangan reaksioner di kalangan masyarakat Quraisy, yang pada saat itu masih percaya dengan kepercayaan animism warisan leluhur mereka.
  2. Metode Pendidikan,[3]pada zaman rasul pendidikan ini dicontohkan dengan mendatangkan rumah ke rumah. Atau menjadikan salah satu rumah sahabat untuk dijadikan tempat pemberian materi-materi Islam. Seperti rumah Al-Arqam bin Abi Arqam yang dijadikan tempat pertama menyampaikan mater-materi pendidikan Islam.
  3. Metode Diskusi, metode diskusi Dai sebagai narasumber sedangkan Mad’u sebagai audience. Tujuannya ialah untuk pemecahan problematika yang ada kaitaannya dengan dakwah, sehingga apa yang menjadikan permasalahan dapat ditemukan jalan keluarnya. Pada masa sembunyi-sembunyi diskusi masih dalam seputar ke-tauhidan, atau apa-apa saja ajaran Islam itu, dan juga mengenai kehidupan setelah mati. Selain itu diskusi pada kondisi seperti ini tidak leluasa, karena harus sembunyi-sembunyi.
  4. Metode bi Al-Hal,[4]dakwah metode ini dilakukan dengan upaya ajakan melalui upaya penyatuan elaborasi antara pemahaman atau pengetahuan (thinking) dengan keyakinan atau perasaan (feeling). Dengan demikian, dakwah dengan metode ini dapat dilakukan dengan mauidhah hasanah (memberi contoh teladan).




  1. Metode bil Hikmah, dari sekian metode awal rasul berdakwah (setelah menerima wahyu kenabian). Rasul menjalankan tugasnya dengan metode bi al-hikmah, dimana metode ini dilakukan rasul selama berdakwah, tidak hanya sembunyi-sembunyi tetapi juga pada saat dakwah terang-terangan. Sesuai dengan ayat An-Nahl : 125

“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan 4hikmahdan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”

            Dakwah secara sembunyi-sembunyi ini dilakukan selama tiga tahun lamanya, dan menghasilkan beberapa nama yang berhasil masuk Islam, diantaranya adalah Khadijah, Ali bin abu Thalib, Zaid bin Haritsah, Abu Bakar, Usman bin Affan, Zubair bin Awam, Abdurrahman bin Auf, Saad bin Abi Waqas, dan Thalhah bin Ubaidillah.
           
B.     Dakwah Secara Terang-Terangan
            Setelah dirasa sudah mendapat banyak dukungan dari sanak keluarga, sahabat dan juga tetangganya dari hasil berdakwah secara sembunyi-sembunyi.Rasulullah memberanikan diri berdakwah secara terang-terangan di pemuka kaum Quraisy. Tentunya alasan dakwah secara terang-terangan ini juga berlandaskan atas perintah Allah SWT, dalam QS Al-Hijr 94 Allah SWT berfirman yang Artinya :




Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik.





            Nabi Muhammad menaiki bukit Shafa dan mengumpulkan orang-orang dengan berteriak “Ya Sabaakha! Ya Sabaakha!”, panggilan ini adalah suatu cara bangsa arab yang dipakai jika ada sesuatu yang penting. Karena itulah kaum Quraisy yang mendengar panggilan tersebut segera berkumpul dan tidak dapat terpaksa mengirimkan orang untuk mendengarkan apa yang dikatakan rasul. Setelah mereka berkumpul, Rasul berkata :[5]

 “Hai Banu Abdul Muthalib, Hai Banu Fihr, Hai Banu Kaab! Bagamainakah pendapatmu jika aku kabarkan bahwa di belakang gunung ini ada sepasukan kuda musuh yang datang akan membinasakan kamu, apakah kamu percaya apa yang aku katakana?” Jawab Mereka : “Ya, kami akan percaya karena tidak ada keraguan bagi kami untuk tidak mempercayaimu”. Kata Rasul : “Ketahuilah oleh kamu sekalian bahwa aku adalah seorang pemberi peringatan kepadamu tentang datangya siksa oleh Allah”.
            Semua orang yang hadir ditempat itu diam saja sambil merenung apa yang dikatakan oleh Rasul, kecuali Abu Lahab, setelah ia mendengar ucapan Rasul ia memprotes :

“Sesungguhnya celaka kamu sepanjang hari ini, hanya inikah kamu mengumpulkan kita?”
           
            Setelah rasul mensyiarkan Islam secara terang-terangan di kalangan kaum Quraisy, beliau keluar berdakwah ke tengah masyarakat Quraisy untuk mengajak mereka ke dalam Islam, hampir di setiap tempat di setiap saat, beliau berani maju ke tengah kaumnya untuk menerangkan hakekat Islam. Mereka diajak untuk menyembah Allah Yang Maha Esa dengan meninggalkan segala macam persembahan selain kepada Allah.
            Setiap harinya Rasul selalu mendatangi mereka baik yang berkumpul dekat Ka’bah maupun yang berada di pasar. Dakwah Rasul ini banyak diterima oleh orang-orang yang bersih hatinya atau mereka yang sudah muak dengan segala macam persembahan dan tata cara hidup jahiliyah yang buruk. Setiap harinya ada saja yang masuk Islam baik itu laki-laki ataupun perempuan.Namun yang paling banyak adalah dari golongan lemah ekonominya atau budak-budak.Karena dakwah Islamiyah tidak membedakan kedudukan orang dalam masyarakat.


Perkembangan agama Islam yang demikian pesat ini, membuat kaum Quraisy khawatir, takut kalau agama nenek moyangnya makin lama makin terancam dengan kehadiran Islam. Selama berdakwahnya Rasul selalu menyadarkan kaum Quraisy akan kelemahan berhala yang mereka sembah. Karena itulah mereka mulai benci terhadap perkembangan Islam, karena menganggap Rasul selalu mencaci maki agama mereka.
            Ketika bangsa Quraisy melihat perlunya langkah yang harus diambil demi kelanggengan agama nenek moyang mereka, maka mereka pergi ke rumah Abu Thalib untuk melaporkan kepada beliau bahwa keponakannya telah menyiarkan agama Islam dan mengancam kelanggengan agama nenek moyang.Mereka meminta kepada Abu Thalib untuk mencegah kegiatan berdakwah Rasul. Mereka berkata :

Wahai Abu Thalib, sesungguhnya anak saudaramu (keponakan) telah mencaci maki terhadap tuhan-tuhan kami dan mengejek nenek moyang kami. Karena itu kami harap agar engkau mencegah dia atau biarkan kami yang menghadpinya sendiri. Dan engkau termasuk orang yang satu agama dan kepercayaan dengan kami”

            Keluhan mereka yang sekeras itu dihadapi oleh Abu Thalib dengan sabar dan beliau menenangkan hati mereka dengan kata-kata yang manis, sampai mereka kembali dengan puas hati.
            Penyiaran Islam di kota Mekkah berkembang pesat, dengan melanjutkan dan mengembangkan metode-metode yang dipakai Rasulullah selama berdakwah secara sembunyi-sembunyi. Sehingga hal ini membuat kaum Quraisy marah dan mendatangkan kembali Abu Thalib

“Hai Abu Thalib, sesungguhnya engkau adalah orang tua dan terpandang di tengah kami. Kami telah meminta kamu untuk mencegah keponakan mu, namun tidak engkau lakukan.Sungguh kami tak dapat bersabar lebih dari ini, kami tak dapat membiarkan keponakanmu mencaci maki tuhan kami. Kami harap kamu cegah dia atau kami sendiri yang menghadapinya sampai salah satu, apakah kami ataukah dia yang akan binasa”
           
            Keluhan kaum Quraisy tersebut membuat Abu Thalib bimbang, karena harus memilih diantara dua pilihan yang sulit. Untuk itu ia memanggil Rasul dan berkata :

“Hai keponakan ku, kaum ku telah datang kepadaku dan mengeluh begini,begitu. Janganlah kamu membebani berat kepadaku, yang tak dapat ku tanggung”. Rasul menjawab : “Hai Pamanku, demi Allah jika mereka meletakkan matahari di kananku, dan bulan di kiriku agar aku meninggalkan dakwah Islamiyah ini, pasti tak akan ku tinggalkan. Sebelum aku diberikan sukses oleh Allah atau aku binasa karenaNya”

            Rasul menjawab ucapan pamannya tersebut dengan penuh semangat dan menangis karena harus membebani pamannya tercinta. Ketika pamannya melihat betapa beratnya apa yang ditanggung oleh Rasul dan kegigihan Rasul dalam dakwah Islami, lantas ia memanggil kembali keponakannya tersebut dan berkata :

“Hai keponakan ku, teruskanlah apa yang telah kamu kerjakan sekehendak hatimu, Demi Tuhan aku tidak akan menyerahkan mu kepada mereka sedikitpun”

            Setelah mendapat persetujan dan perlindungan dari pamannya, Rasul semakin bersemangat dalam menjalankan tugas Dakwah Islamiyahnya.Hal ini membuat kaum Quaraisy geram karena terus melihat perkembangan pesat umat yang masuk Islam. Kaum Quaraisy melakukan berbagai cara untuk membatasi atau mencegah kaumnya masuk Islam, mereka menyiksa dengan sangat sadis bahkan membunuh kaum muslimin, terutama dari kalangan budak muslim. Seperti Bilal bin Rabah dan Yasir serta keluarganya yang mati karena harus mempertahankan aqidah mereka.
            Perjalanan dakwah Rasul pada periode terang-terangan ini, mengalami berbagai banyak hal, baik itu perkembangan pesat umat muslim dan juga ancaman serta siksaan dari kaum Quraisy yang semakin menjadi-jadi. Apalagi saat wafatnya Khadijah (Isteri Rasul) dan Abu Thalib (paman Rasul) yang selama ini membantu dan melindungi rasulullah dalam berdakwah.
            Tidak terhitung berapa jumlah harta Khadijah yang digunakan dalam berdakwah Rasul.Sebagai saudagar yang kaya raya, Khadijah sangat dihargai di kalangan kaum Quraisy sehingga mereka sangat senggan terhadap Rasul selama Khadijah hidup.Apalagi Abu Thalib yang menjadi pemuka kaum Quraisy dari kalangan Bani Abu Muthalib, yang juga kakek Rasul. Namun semenjak kepergian mereka di tahun yang sama, kaum Quraisy merasa mendapatkan kesempatan dan peluang yang besar untuk menghentikan dakwah rasul dengan berbagai cara.
            Meskipun begitu, rasul tetap gigih dan sabar dalam menjalankan dakwahnya.Tidak sedikitpun rasul membalas perbuatan mereka yang keji, beliau hanya bisa bersabar, berdoa dan menyusun strategi dari permasalahannya yang lebih kompleks ini.
            Adapun beberapa metode yang dilakukan rasul saat berdakwah secara terang-terangan adalah :
  1. Politik Pemerintahan:[6] Merasa dakwah di Mekkah semakin terasa berat, karena perlakuan orang Quaraisy terhadap Rasul dan umatnya semakin sadis, bahkan sampai mengencam nyawa dan raganya. Oleh karena itu demi keselamatan nyawa dan keselamatan umat muslim. Maka rasul dan sahabat-sahabatnya memutuskan untuk hijrah ke luar daerah. Contohnya ialah ketika ia hijrah ke Madinah. Keputusan hijrah ke Madinah ini bukanlah semata-mata atas kehendaknya sendiri, melainkan memang atas perintah orang Madinah Sendiri, sehingga kebanyakan penduduk Madinah secara terbuka menerima ajaran-ajaran agama Rasul. Di Madinah, Rasul mendapat sahabat (Anshor) yang makin hari makin bertambah, sehingga Rasul menggunakan politik pemerintahannya, yakni mendirikan Negara Islam. Yang mana semua urusan ekonomi, hukum, tata ekonomi, sosial dan sebagainya berasaskan Islam. Hal ini berarti dakwah Islamiyahnya sebagai tujuan utama Negara.
  2. Surat Menyurat :[7]metode dakwah rasulullah bukan saja dengan cara politik pemerintahan, akan tetapi menggunakan pula metode surat-menyurat. Metode ini dilakukan oleh rasulullah kepada berbagai Negara tetangga seperti Yaman, Syam, dsb. Adapun hasilnya sudah barang tentu ada yang menerima dan ada yang menolaknya. Beberapa metode seperti ini menggambarkan bahwa beliau memiliki kecakapan yang lebih hebat bila dibandingkan dengan zaman mutakhir ini
  3. Metode Peperangan :perang adalah metode dakwah Rasul yang paling terakhir, bila sudah tiada lagi jalan lain yang ditempuh. Seperti perang Badar, Perang Uhud, Yamuk dsb. Metode dakwah menggunakan gencatan senjata ini memang tampaknya sangat membahayakan, karena bala tentara rasulullah lebih sedikit dibandingkan dengan tentara orang kafir. Namun sejarah Islam telah membuktikan bahwa peperangan rasulullah dengan orang kafir jarang sekali menemui kekalahan. Dengan demikian peperangan dapat menguntungkan dan menambah tersiarnya agam Islam ke berbagai penjuru alam




            [8]Selain ketiga metode tersebut, rasulullah juga terus mengembangkan metodenya sewaktu dakwah secara sembunyi-sembunyi, yaitu misalnya mengembangkan Metode Dakwah Secara Diskusi, dalam situasi dakwah yang terang-terangan ini rasul bisa lebih leluasa dalam melakukan diskusi dengan umatnya, bahkan mempunyai tempat khusus seperti Masjid, Ka’bah dll. Juga metode-metode lain seperti Metode Pendidikan, Metode Personal yang lebih komperhensif, dan Metode bil Hikmah.Dan Rasul juga menggunakan metode bil Mal yaitu metode dengan memberikan kontribusi materi kepada sasaran dakwah yang lemah ekonominya. Hal ini sebenarnya sudah biasa Rasul lakukan jauh sebelum ia diutus menjadi Rasul karena hal ini sudah menjadi sifat naluriah rasul sebagai manusia yang murah hati dan dermawan. Dalam sebuah hadist diriwiyatkan






كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُعْطِينِي الْعَطَاءَ فَأَقُولُ أَعْطِهِ مَنْ هُوَ أَفْقَرُ إِلَيْهِ مِنِّي فَقَالَ خُذْهُ إِذَا جَاءَكَ مِنْ هَذَا الْمَالِ شَيْءٌ وَأَنْتَ غَيْرُ مُشْرِفٍ وَلَا سَائِلٍ فَخُذْهُ وَمَا لَا فَلَا تُتْبِعْهُ نَفْسَكَ

“Dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan pemberian kepadaku, kemudian aku mengatakan: “Berikan kepada orang yang lebih miskin daripadaku,” maka Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,”Ambillah itu! Jika datang kepadamu sesuatu dari harta ini, sedangkan engkau tidak memperhatikan (yakni mengharapkan, Pen) dan tidak meminta, maka ambillah itu! Dan yang tidak, maka janganlah engkau mengikuti hawa-nafsumu terhadapnya!” [HR Bukhari, no. 14734].

            Sepanjang perjalanan tugasnya, Rasul selalu menggunakan berbagai metode guna keberhasilan dakwahnya. Begitu banyak tantangan dan rintangan yang Rasul hadapi, tetapi hal itu tidak menjadikan ia lalai dalam mengemban tugas dari Yang Maha Esa. Ia tatap optimis, gigih dan penuh starategi. Hingga pada akhirnya Rasulullah berhasil menjalankan tugasnya itu, dan ajaran-ajaran Islam bisa menyebar luas hingga ke seluruh negeri.Tidak heran jikalau Rasul dinobatkan menjadi orang paling berpengaruh di dunia.Dengan suri tauladan dan perjuangannya dalam berdakwah.Semoga segala macam metode rasul ini, dapat menjadi contoh bagi kita dalam mengajak yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar dan semoga kita dapat mengembangkan dan menyikapinya dengan baik.Sehingga umat Islam pada zaman menghadapi tantangan globalisasi ini tidak menurun nilai-nilai keimanan islamnya[9].



                                                                                   

[1]Abu Hasan Ali Al-Hasany An-Nadwy, Riwayat Hidup Rasulullah SAW, Surabaya : Bina Ilmu 1989 hlm 91
[2]Rahmat Semesta (sebuah lembaga kajian dan pengembangan Dakwah forum komunikasi Mahasiswa dan Alumni UIN Syarif Hidayatulah), Metode Dakwah, Jakarta:Prenada Media 2003 hlm 21
[3]Muhyidin asep dan Agus Ahmad Safei. 2002.  Metode Pengembangan Dakwah. Bandung :  CV Pustaka Setia, hlm. 109
[4]Musthofa, Dimensi-dimensi Psikologi Kajian Ilmu Dakwah, Jurnal Ilmu Dakwah IAIN Sunan Ampel Vol.11 No.1 April 2005, hlm 102

[5]Abu Hasan Ali Al-Hasany An-Nadwy, Riwayat Hidup Rasulullah SAW, Surabaya : Bina Ilmu 1989 hlm 94

[6]Rafi’udin dan Maman Abdul Djaliel, Prinsip Dan Strategi Dakwah, Bandung:  Pustaka Setia 2001 hlm 107
[7] Ibid
[8]Rafiu’din, Op.cit  hlm 105
[9] Musthofa, Loc.cit