Wednesday, 6 January 2016

Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Kepemimpinan Islam



BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Menurut kodrat serta irodatnya bahwa manusia dilahirkan untuk menjadi pemimpin. Sejak Adam diciptakan sebagai manusia pertama dan diturunkan ke Bumi, Ia ditugasi sebagai Khalifah fil ardhi. Sebagaimana termaktub dalam Al Quran Surat Al Baqarah ayat 30 yang artinya: “ Sesungguhnya Aku mengangkat Adam menjadi khalifah dimuka bumi”. Dan pada hakikatnya dalam diri manusia adalah pemimpin bagi dirinya, anaknya, keluarganya, dan dalam masyarakat.
Menurut Bachtiar Surin yang dikutip oleh Maman Ukas bahwa “Perkataan Khalifah berarti penghubung atau pemimpin yang diserahi untuk menyampaikan atau memimpin. Dari uraian tersebut jelaslah bahwa manusia telah dikaruniai sifat dan sekaligus tugas sebagai seorang pemimpin. Pada masa sekarang ini setiap individu sadar akan pentingnya ilmu sebagai petunjuk/alat/panduan untuk memimpin umat manusia yang semakin besar jumlahnya serta komplek persoalannya. Atas dasar kesadaran itulah dan relevan dengan upaya proses pembelajaran yang mewajibkan kepada setiap umat manusia untuk mencari ilmu. Dengan demikian upaya tersebut tidak lepas dengan pendidikan, dan tujuan pendidikan tidak akan tercapai secara optimal tanpa adanya manajemen atau pengelolaan pendidikan yang baik, yang selanjutnya dalam kegiatan manajemen pendidikan diperlukan adanya pemimpin yang memiliki kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin








BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Hakikat Kepemimpinan
Dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan keluarga, organisasi, perusahaan sampai dengan pemerintahan sering kita dengar sebutan pemimpin ataupun kepemimpinan.Kepemimpinan secara etimologi (asal kata) menurut kamus Besar Bahasa  Indonesia berasal dari kata  dasar “pimpin” dengan menambah awalan pe menjadi “pemimpin” yang berarti menuntun, menunjukkan jalan dan membimbing.
Dalam bahasa inggris pemimpin disebut dengan leader.Kegiatannya disebut kepemimpinan atau leadarship, namun dalam istilah islam disebut dengan kata khalifah dapat diartikan juga sebagai “pengganti”. Pemakaian kata khalifah   ini terjadi setelah Rasulllah SAW wafat, terutama bagi keempat khalifah (khulafaur rasyidin). Disamping itu ada juga disebut bahwa pemimpin itu denngan istilah “amir” ( yang jamaknya umara) ini diartikan dengan penguasa. Oleh karena itu secara spritual kepemimpinan diartikan sebagai kemepuan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan Allah SWT, baik secara bersama-sama  maupun perseorangan.
Kepemimpinan mempunyai arti yang berbeda-beda tergantung pada sudut pandang atau perspektif-perspektif dari para peneliti yang bersangkutan. Berikut beberapa definisi tentang kepemimpinan antara lain.
Kepemimpinan adalah proses memengaruhi atau memberi contoh oleh pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi.[1]
Menurut Rauch dan Behling Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas-aktivitas sebuah kelompok yang diorganisasi ke arah pencapaian tujuan. Sedangkan menurutTead, Terry, Hoyt Pengertian Kepemimpinan yaitu kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok. Menurut hemat kami kepemimpinan adalah suatu aktivitas untuk mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan tertentu.
Adapun kepemimpinan menurut islam adalah usaha menggerakan manusia untuk mencapai suatu tujuan tertentu, baik bersifat ukhrawi ataupun duniawi, sesuai nilai dan syariah islam.[2]

2.2.  Faktor Yang Mempengaruhi Kepemimpinan Dalam Islam
Beberapa faktor yang menjadi kriteria yang bersifat general dan spesifik dalam menentukan pemimpin tersebut adalah antara lain :
a.      Faktor Keulamaan
Dalam Qs. 35 : 28, Allah menerangkan bahwa diantara hamba-hamba Allah, yang paling takut adalah al-‘ulama. Hal ini menunjukkan bahwa apabila pemimpin tersebut memiliki kriteria keulamaan, maka dia akan selalu menyandarkan segala sikap dan keputusannya berdasarkan wahyu (Al-Qur'an). Dia takut untuk melakukan kesalahan dan berbuat maksiat kepada Allah. Berdasarkan Qs. 49 : 1, maka ia tidak akan gegabah dan membantah atau mendahului ketentuan yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Dalam pengambilan keputusan, ia selalu merujuk kepada petunjuk Al-Qur'an dan Al-Hadits.
Berdasarkan Qs. 29 : 49, maka seorang pemimpin yang berkriteria ulama, haruslah memiliki keilmuan yang dalam di dalam dadanya (fii shudur). Ia selalu menampilkan ucapan, perbuatan, dan perangainya berdasarkan sandaran ilmu.
b.      Faktor Intelektual (Kecerdasan)
Seorang calon pemimpin haruslah memiliki kecerdasan, baik secara emosional (EQ), spiritual (SQ) maupun intelektual (IQ).
Dalam hadits Rasulullah melalui jalan shahabat Ibnu Abbas r.a, bersabd: "Orang yang pintar (al-kayyis) adalah orang yang mampu menguasai dirinya dan beramal untuk kepentingan sesudah mati, dan orang yang bodoh (al-‘ajiz) adalah orang yang memperturutkan hawa nafsunya dan pandai berangan-angan atas Allah dengan segala angan-angan." (HR. Bukhari, Muslim, Al-Baihaqy)
Hadits ini mengandung isyarat bahwa seorang pemimpin haruslah orang yang mampu menguasai dirinya dan emosinya. Bersikap lembut, pemaaf, dan tidak mudah amarah. Dalam mengambil sikap dan keputusan, ia lebih mengutamakan hujjah Al-Qur'an dan Al-Hadits, daripada hanya sekedar nafsu dan keinginan-nya. Ia akan menganalisa semua aspek dan faktor yang mempengaruhi penilaian dan pengambilan keputusan. Berdasarkan Qs. 10 : 55, mengandung arti bahwa dalam mengambil dan mengajukan diri untuk memegang suatu amanah, haruslah disesuaikan dengan kapasitas dan kapabilitas (kafa'ah) yang dimiliki (Qs. 4 : 58).
Rasulullah berpesan : "Barangsiapa menyerahkan suatu urusan kepada yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya."[3]
c.       Faktor Kepeloporan
Berdasarkan Qs. 39 : 12, maka seorang pemimpin haruslah memiliki sifat kepeloporan. Selalu menjadi barisan terdepan (pioneer) dalam memerankan perintah Islam. Berdasarkan Qs. 35 : 32, maka seorang pemimpin haruslah berada pada posisi hamba-hamba Allah yang bersegera dalam berbuat kebajikan (sabiqun bil khoiroti bi idznillah)
Berdasarkan Qs. 6 : 135, maka seorang pemimpin tidak hanya ahli di bidang penyusunan konsep dan strategi (konseptor), tetapi haruslah juga orang yang memiliki karakter sebagai pekerja (operator). Orang yang tidak hanya pandai bicara, tetapi juga pandai bekerja.
Berdasarkan Qs. 6 : 162 - 163, maka seorang pemimpin haruslah orang yang tawajjuh kepada Allah. Menyadari bahwa semua yang berkaitan dengan dirinya, adalah milik dan untuk Allah. Sehingga ia tidak akan menyekutukan Allah, dan selalu berupaya untuk mencari ridho Allah (Qs. 2 : 207)
d.      Faktor Keteladanan
Seorang calon pemimpin haruslah orang yang memiliki figur keteladanan dalam dirinya, baik dalam hal ibadah, akhlaq, dsb.
Berdasarkan Qs. 68 : 4, maka seorang pemimpin haruslah memiliki akhlaq yang mulia (akhlaqul karimah), sehingga dengannya mampu membawa perubahan dan perbaikan dalam kehidupan sosial masyarakat.
Faktor akhlaq adalah masalah paling mendasar dalam kepemimpinan. Walaupun seorang pemimpin memiliki kecerdasan intelektual yang luar biasa, tetapi apabila tidak dikontrol melalui akhlaq yang baik, maka ia justru akan membawa kerusakan (fasada) dan kehancuran.
e.       Faktor Manajerial (Management)
Berdasarkan Qs. 61 : 4, maka seorang pemimpin haruslah memahami ilmu manajerial (meskipun pada standar yang minim). Memahami manajemen kepemimpinan, perencanaan, administrasi, distribusi keanggotaan, dsb.
Seorang pemimpin harus mampu menciptakann keserasian, keselarasan, dan kerapian manajerial lembaganya (tandhim), baik aturan-aturan yang bersifat mengikat, kemampuan anggota, pencapaian hasil, serta parameter-parameter lainnya. Dengan kemampuan ini, maka akan tercipta tanasuq (keteraturan), tawazun (keseimbangan), yang kesemuanya bermuara pada takamul (komprehensif) secara keseluruhan.[4]
Oleh karena itu, mari kita lebih berhati-hati dalam menentukan imam atau pemimpin kita. Karena apapun akibat yang dilakukannya, maka kita pun akan turut bertanggung jawab terhadapnya. Jika kepemimpinannya baik, maka kita akan merasakan nikmatnya. Sebaliknya, apabila kepemimpinannya buruk, maka kita pun akan merasakan kerusakan dan kehancurannya.

2.3. Cara Menyikapi Pemimpin yang Tidak Sesuai Dengan Ajaran Islam
a.      Memberikan Nasihat
Memberikan nasihat kepada penguasa zalim merupakan perintah klasik Allah Jalla wa ‘ Ala kepada Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimas salam untuk meluruskan kezaliman Fir’aun. Ini menunjukkan bahwa nasihat dan ajakan kepada kebaikan merupakan upaya penyembuhan pertama bagi penguasa zalim, bahkan bagi siapa saja yang menyimpang. Para fuqaha’ sepakat bahwa hukuman di dunia bagi orang yang meninggalkan shalat secara sengaja baru bisa ditegakkan bila ia enggan bertaubat setelah diperintahkan untuknya bertaubat. Memerangi orang kafir pun baru dimulai ketika da’wah telah ditegakkan.[5]
b.      Tidak Mentaatinya
Tidak mentaati penguasa yang telah keluar dari tuntunan syara’, baik perilakunya, keputusannya, dan undang-undangnya, telah dikemukakan Al Qur’an dan As Sunnah yang suci. Al Qur’an dan As Sunnah tidak pernah memberikan ketaatan mutlak kepada makhluk. Ketaatan mutlak hanya kepada Allah dan RasulNya. Ini telah menjadi kesepakatan ulama sejak dahulu hingga kini, dan tak ada perselisihan di antara mereka.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Hai orang-orang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada RasulNya, dan Ulil Amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (As Sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhir …” (QS. An Nisa: 59)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as Sa’di dalam tafsirnya berkata, “Perintah taat kepada Ulil Amri terdiri dari para penguasa, pemimpin, dan ahli fatwa.” Ia mengatakan ini bukanlah perkara yang mutlak, “tetapi dengan syarat bahwa ia tidak memerintahkan maksiat kepada Allah. Sebab jika mereka diperintah berbuat demikian, maka tidak ada ketaatan seorang makhluk dalam kemaksiatan terhadap Khaliq. Mungkin inilah rahasia peniadaan fiil amr (kata kerja perintah) untuk mentaati mereka (athi’u), yang tidak disebutkan sebagaimana layaknya ketaatan pada Rasul. Karena Rasul hanya memerintah ketaatan kepada Allah, dan barangsiapa yang mentaatinya, ia telah taat kepada Allah. Sedangkan Ulil Amri, maka perintah mentaati mereka terikat syarat, yaitu sebatas tidak melanggar atau bukan maksiat.” (Tafsirul Karim ar rahman fi Tafsir Kalam al Manan, 2/42)

c.       Mencopot Pemimpin Zalim dari Jabatannya
Pemimpin merupakan representasi dari umat, merekalah yang mengangkatnya melalui wakilnya (Ahlul Halli wal Aqdi), maka mereka juga berhak mencopotnya jika ada alasan yangmasyru’ dan logis.
Menurut Ubnu Khaldun, meminta copot pemimpin yang zalim bukanlah termasuk pemberontakan dan pembangkangan (bughat) apalagi disebut khawarij seperti tuduhan sebagian kalangan, pembangkangan hanyalah layak disebut jika meminta pencopotan terhadap pemimpin yang benar dan adil. Bukti yang paling jelas adalah perlawanan keluarga Husein radhiallahu ‘anhu terhadap khalifah Yazid bin Mu’awiyah. Ibnu Khaldun menyebut Husein ‘Seorang syahid yang berpahala’, atau perlawanannya seorang tabi’in ternama, Said bin Jubeir terhadap gubernur zalim bernama Al Hajjaj. Ketahuilah, yang dilawanoleh kaum khawarij adalah pemimpin yang sah dan adil, yaitu Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Sedangkan yang kita bincangkan adalah perlawanan terhadap penguasa yang zalim dan tiran, sebagaimana yang banyak dilakukan aktifis gerakan Islam di banyak negara saat ini. Tentu nilai perlawanan ini tidak sama.





BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
berdasarkan tulisaan diatas dapat disimpulkan :
1.      Dalam bahasa inggris pemimpin disebut dengan leader.Kegiatannya disebut kepemimpinan atau leadarship, namun dalam istilah islam disebut dengan kata khalifah dapat diartikan juga sebagai “pengganti”. Pemakaian kata khalifah   ini terjadi setelah Rasulllah SAW wafat, terutama bagi keempat khalifah (khulafaur rasyidin). Disamping itu ada juga disebut bahwa pemimpin itu denngan istilah “amir” ( yang jamaknya umara) ini diartikan dengan penguasa. Oleh karena itu secara spritual kepemimpinan diartikan sebagai kemepuan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan Allah SWT, baik secara bersama-sama  maupun perseorangan.
2.      Faktor Yang Mempengaruhi Kepemimpinan Dalam Islam adalah. faktor keulamaan, intelektual, kepeloporan, keteladanan dan manajerial.
3.      Cara Menyikapi Pemimpin yang Tidak Sesuai Dengan Ajaran Islam
yaitu dengan cara Memberikan Nasihat, tidak mentaatinya dan mencopot jabatannya.

3.2. saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis menyadari masih banyak kesalahan dan kekurangannya, makadariitu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar lebih baik mendatangnya.




[1] Heri Mohammad, Heri. 44 Teladanan Kepemimpinan Muhammad. (Bandung : Gema Insani, 2010), hal. 49

[2] James A.F Stoner, et al. Edisi II. Management. (Indonesia : Aditya Media, 1996), hal.162

[3] http://media.kompasiana.com/buku/2011/02/14/muhammad-saw-tauladan-kepemimpinan-sepanjang-masa/
[4] Winardi. 1983. Pemimpin Dan Kepemimpinan Dalam Management. Bandung : Alumni

[5] ibid

1 comment:

  1. Winning303
    Agent Tembak ikan
    Slot Joker Terlaris Zaman now
    Mari bermain bersama kami
    Sekarang juga

    dapatkan berbagai macam Bonus menarik langgsung dari kami.

    Customer Service 24 Jam
    Hubungi Kami di :
    WA: +6287785425244

    ReplyDelete