BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar
Belakang
Menurut kodrat serta irodatnya bahwa
manusia dilahirkan untuk menjadi pemimpin. Sejak Adam diciptakan sebagai
manusia pertama dan diturunkan ke Bumi, Ia ditugasi sebagai Khalifah fil ardhi.
Sebagaimana termaktub dalam Al Quran Surat Al Baqarah ayat 30 yang artinya: “
Sesungguhnya Aku mengangkat Adam menjadi khalifah dimuka bumi”. Dan pada
hakikatnya dalam diri manusia adalah pemimpin bagi dirinya, anaknya,
keluarganya, dan dalam masyarakat.
Menurut Bachtiar Surin yang dikutip oleh
Maman Ukas bahwa “Perkataan Khalifah berarti penghubung atau pemimpin yang
diserahi untuk menyampaikan atau memimpin. Dari uraian tersebut jelaslah bahwa
manusia telah dikaruniai sifat dan sekaligus tugas sebagai seorang pemimpin.
Pada masa sekarang ini setiap individu sadar akan pentingnya ilmu sebagai
petunjuk/alat/panduan untuk memimpin umat manusia yang semakin besar jumlahnya
serta komplek persoalannya. Atas dasar kesadaran itulah dan relevan dengan
upaya proses pembelajaran yang mewajibkan kepada setiap umat manusia untuk
mencari ilmu. Dengan demikian upaya tersebut tidak lepas dengan pendidikan, dan
tujuan pendidikan tidak akan tercapai secara optimal tanpa adanya manajemen
atau pengelolaan pendidikan yang baik, yang selanjutnya dalam kegiatan
manajemen pendidikan diperlukan adanya pemimpin yang memiliki kemampuan untuk
menjadi seorang pemimpin
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Hakikat
Kepemimpinan
Dalam kehidupan sehari-hari, baik di lingkungan
keluarga, organisasi, perusahaan sampai dengan pemerintahan sering kita dengar
sebutan pemimpin ataupun kepemimpinan.Kepemimpinan
secara etimologi (asal kata) menurut kamus Besar Bahasa Indonesia
berasal dari kata dasar “pimpin” dengan menambah awalan pe menjadi
“pemimpin” yang berarti menuntun, menunjukkan jalan dan membimbing.
Dalam bahasa inggris pemimpin disebut dengan leader.Kegiatannya
disebut kepemimpinan atau leadarship, namun dalam istilah islam disebut dengan
kata khalifah dapat diartikan juga sebagai “pengganti”.
Pemakaian kata khalifah ini terjadi setelah Rasulllah
SAW wafat, terutama bagi keempat khalifah (khulafaur rasyidin). Disamping itu
ada juga disebut bahwa pemimpin itu denngan istilah “amir” ( yang jamaknya
umara) ini diartikan dengan penguasa. Oleh karena itu secara spritual kepemimpinan
diartikan sebagai kemepuan melaksanakan perintah dan meninggalkan larangan
Allah SWT, baik secara bersama-sama maupun perseorangan.
Kepemimpinan mempunyai arti yang berbeda-beda tergantung pada sudut pandang
atau perspektif-perspektif dari para peneliti yang bersangkutan. Berikut
beberapa definisi tentang kepemimpinan antara lain.
Kepemimpinan adalah proses memengaruhi atau memberi contoh oleh
pemimpin kepada pengikutnya dalam upaya mencapai tujuan organisasi.[1]
Menurut Rauch dan Behling Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi
aktivitas-aktivitas sebuah kelompok yang diorganisasi ke arah pencapaian
tujuan. Sedangkan menurutTead, Terry, Hoyt Pengertian Kepemimpinan yaitu
kegiatan atau seni mempengaruhi orang lain agar mau bekerjasama yang didasarkan
pada kemampuan orang tersebut untuk membimbing orang lain dalam mencapai
tujuan-tujuan yang diinginkan kelompok. Menurut hemat kami kepemimpinan
adalah suatu aktivitas untuk mempengaruhi orang lain untuk mencapai tujuan
tertentu.
Adapun kepemimpinan menurut islam adalah usaha menggerakan manusia untuk
mencapai suatu tujuan tertentu, baik bersifat ukhrawi ataupun duniawi, sesuai
nilai dan syariah islam.[2]
2.2. Faktor Yang Mempengaruhi Kepemimpinan Dalam Islam
Beberapa faktor yang menjadi kriteria yang bersifat general dan spesifik
dalam menentukan pemimpin tersebut adalah antara lain :
a. Faktor Keulamaan
Dalam Qs. 35
: 28, Allah menerangkan bahwa diantara hamba-hamba Allah, yang paling takut
adalah al-‘ulama. Hal ini menunjukkan bahwa apabila pemimpin tersebut memiliki
kriteria keulamaan, maka dia akan selalu menyandarkan segala sikap dan
keputusannya berdasarkan wahyu (Al-Qur'an). Dia takut untuk melakukan kesalahan
dan berbuat maksiat kepada Allah. Berdasarkan
Qs. 49 : 1, maka ia tidak akan gegabah dan membantah atau mendahului ketentuan
yang telah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Dalam pengambilan keputusan, ia
selalu merujuk kepada petunjuk Al-Qur'an dan Al-Hadits.
Berdasarkan Qs. 29 : 49, maka seorang pemimpin yang berkriteria ulama,
haruslah memiliki keilmuan yang dalam di dalam dadanya (fii shudur). Ia selalu
menampilkan ucapan, perbuatan, dan perangainya berdasarkan sandaran ilmu.
b. Faktor Intelektual (Kecerdasan)
Seorang
calon pemimpin haruslah memiliki kecerdasan, baik secara emosional (EQ),
spiritual (SQ) maupun intelektual (IQ).
Dalam hadits Rasulullah melalui jalan shahabat Ibnu Abbas r.a,
bersabd: "Orang yang pintar (al-kayyis) adalah orang yang mampu
menguasai dirinya dan beramal untuk kepentingan sesudah mati, dan orang yang
bodoh (al-‘ajiz) adalah orang yang memperturutkan hawa nafsunya dan pandai
berangan-angan atas Allah dengan segala angan-angan." (HR. Bukhari, Muslim,
Al-Baihaqy)
Hadits ini
mengandung isyarat bahwa seorang pemimpin haruslah orang yang mampu menguasai
dirinya dan emosinya. Bersikap lembut, pemaaf, dan tidak mudah amarah. Dalam
mengambil sikap dan keputusan, ia lebih mengutamakan hujjah Al-Qur'an dan
Al-Hadits, daripada hanya sekedar nafsu dan keinginan-nya. Ia akan menganalisa
semua aspek dan faktor yang mempengaruhi penilaian dan pengambilan keputusan. Berdasarkan Qs. 10 : 55, mengandung arti bahwa dalam mengambil dan
mengajukan diri untuk memegang suatu amanah, haruslah disesuaikan dengan
kapasitas dan kapabilitas (kafa'ah) yang dimiliki (Qs. 4 : 58).
Rasulullah berpesan : "Barangsiapa menyerahkan suatu urusan kepada
yang bukan ahlinya, maka tunggulah kehancurannya."[3]
c. Faktor Kepeloporan
Berdasarkan
Qs. 39 : 12, maka seorang pemimpin haruslah memiliki sifat kepeloporan. Selalu
menjadi barisan terdepan (pioneer) dalam memerankan perintah Islam. Berdasarkan Qs. 35 : 32, maka seorang pemimpin haruslah berada pada posisi
hamba-hamba Allah yang bersegera dalam berbuat kebajikan (sabiqun bil khoiroti
bi idznillah)
Berdasarkan Qs. 6 : 135, maka seorang pemimpin tidak hanya ahli di bidang
penyusunan konsep dan strategi (konseptor), tetapi haruslah juga orang yang
memiliki karakter sebagai pekerja (operator). Orang yang tidak hanya pandai
bicara, tetapi juga pandai bekerja.
Berdasarkan Qs. 6 : 162 - 163, maka seorang pemimpin haruslah orang yang
tawajjuh kepada Allah. Menyadari bahwa semua yang berkaitan dengan dirinya,
adalah milik dan untuk Allah. Sehingga ia tidak akan menyekutukan Allah, dan
selalu berupaya untuk mencari ridho Allah (Qs. 2 : 207)
d. Faktor Keteladanan
Seorang calon pemimpin haruslah orang yang memiliki figur keteladanan dalam
dirinya, baik dalam hal ibadah, akhlaq, dsb.
Berdasarkan Qs. 68 : 4, maka seorang pemimpin haruslah memiliki akhlaq yang
mulia (akhlaqul karimah), sehingga dengannya mampu membawa perubahan dan
perbaikan dalam kehidupan sosial masyarakat.
Faktor akhlaq adalah masalah paling mendasar dalam kepemimpinan. Walaupun
seorang pemimpin memiliki kecerdasan intelektual yang luar biasa, tetapi
apabila tidak dikontrol melalui akhlaq yang baik, maka ia justru akan membawa
kerusakan (fasada) dan kehancuran.
e. Faktor Manajerial (Management)
Berdasarkan Qs. 61 : 4, maka seorang pemimpin haruslah memahami ilmu
manajerial (meskipun pada standar yang minim). Memahami manajemen kepemimpinan,
perencanaan, administrasi, distribusi keanggotaan, dsb.
Seorang pemimpin harus mampu menciptakann
keserasian, keselarasan, dan kerapian manajerial lembaganya (tandhim), baik
aturan-aturan yang bersifat mengikat, kemampuan anggota, pencapaian hasil,
serta parameter-parameter lainnya. Dengan
kemampuan ini, maka akan tercipta tanasuq (keteraturan), tawazun
(keseimbangan), yang kesemuanya bermuara pada takamul (komprehensif) secara
keseluruhan.[4]
Oleh karena itu, mari kita lebih berhati-hati dalam menentukan imam atau
pemimpin kita. Karena apapun akibat yang dilakukannya, maka kita pun akan turut
bertanggung jawab terhadapnya. Jika kepemimpinannya baik, maka kita akan merasakan
nikmatnya. Sebaliknya, apabila kepemimpinannya buruk, maka kita pun akan
merasakan kerusakan dan kehancurannya.
2.3. Cara Menyikapi
Pemimpin yang Tidak Sesuai Dengan Ajaran Islam
a. Memberikan
Nasihat
Memberikan nasihat kepada penguasa
zalim merupakan perintah klasik Allah Jalla wa ‘ Ala kepada
Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimas salam untuk meluruskan
kezaliman Fir’aun. Ini menunjukkan bahwa nasihat dan ajakan kepada kebaikan
merupakan upaya penyembuhan pertama bagi penguasa zalim, bahkan bagi siapa saja
yang menyimpang. Para fuqaha’ sepakat bahwa hukuman di dunia bagi
orang yang meninggalkan shalat secara
sengaja baru bisa ditegakkan bila ia enggan bertaubat setelah diperintahkan
untuknya bertaubat. Memerangi orang kafir pun baru dimulai ketika da’wah telah
ditegakkan.[5]
b.
Tidak Mentaatinya
Tidak mentaati penguasa yang telah
keluar dari tuntunan syara’, baik perilakunya, keputusannya, dan
undang-undangnya, telah dikemukakan Al Qur’an dan As Sunnah yang suci. Al
Qur’an dan As Sunnah tidak pernah memberikan ketaatan mutlak kepada makhluk.
Ketaatan mutlak hanya kepada Allah dan RasulNya. Ini telah menjadi kesepakatan
ulama sejak dahulu hingga kini, dan tak ada perselisihan di antara mereka.
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
“Hai orang-orang beriman, taatlah
kepada Allah dan taatlah kepada RasulNya, dan Ulil Amri di antara kamu.
Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia
kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (As Sunnah), jika kamu beriman kepada Allah
dan hari akhir …” (QS. An Nisa: 59)
Syaikh Abdurrahman bin Nashir as
Sa’di dalam tafsirnya berkata, “Perintah taat kepada Ulil Amri terdiri dari
para penguasa, pemimpin, dan ahli fatwa.” Ia mengatakan ini bukanlah perkara
yang mutlak, “tetapi dengan syarat bahwa ia tidak memerintahkan maksiat kepada
Allah. Sebab jika mereka diperintah berbuat demikian, maka tidak ada
ketaatan seorang makhluk dalam kemaksiatan terhadap Khaliq. Mungkin
inilah rahasia peniadaan fiil amr (kata kerja perintah) untuk
mentaati mereka (athi’u), yang tidak disebutkan sebagaimana layaknya
ketaatan pada Rasul. Karena Rasul hanya memerintah ketaatan kepada Allah, dan
barangsiapa yang mentaatinya, ia telah taat kepada Allah. Sedangkan Ulil Amri,
maka perintah mentaati mereka terikat syarat, yaitu sebatas tidak melanggar
atau bukan maksiat.” (Tafsirul Karim ar rahman fi Tafsir Kalam al Manan,
2/42)
c.
Mencopot Pemimpin Zalim dari
Jabatannya
Pemimpin merupakan representasi dari
umat, merekalah yang mengangkatnya melalui wakilnya (Ahlul Halli wal Aqdi),
maka mereka juga berhak mencopotnya jika ada alasan yangmasyru’ dan
logis.
Menurut Ubnu Khaldun, meminta copot
pemimpin yang zalim bukanlah termasuk pemberontakan dan pembangkangan (bughat)
apalagi disebut khawarij seperti tuduhan sebagian kalangan,
pembangkangan hanyalah layak disebut jika meminta pencopotan terhadap pemimpin
yang benar dan adil. Bukti yang paling jelas adalah perlawanan keluarga
Husein radhiallahu ‘anhu terhadap khalifah Yazid bin
Mu’awiyah. Ibnu Khaldun menyebut Husein ‘Seorang syahid yang berpahala’, atau
perlawanannya seorang tabi’in ternama, Said bin Jubeir terhadap gubernur zalim
bernama Al Hajjaj. Ketahuilah, yang dilawanoleh kaum khawarij adalah
pemimpin yang sah dan adil, yaitu Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu. Sedangkan
yang kita bincangkan adalah perlawanan terhadap penguasa yang zalim dan tiran,
sebagaimana yang banyak dilakukan aktifis gerakan Islam di banyak negara saat
ini. Tentu nilai perlawanan ini tidak sama.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
berdasarkan tulisaan diatas dapat disimpulkan :
1.
Dalam bahasa
inggris pemimpin disebut dengan leader.Kegiatannya disebut
kepemimpinan atau leadarship, namun dalam istilah islam disebut dengan
kata khalifah dapat diartikan juga sebagai “pengganti”.
Pemakaian kata khalifah ini terjadi setelah Rasulllah
SAW wafat, terutama bagi keempat khalifah (khulafaur rasyidin). Disamping itu
ada juga disebut bahwa pemimpin itu denngan istilah “amir” ( yang jamaknya
umara) ini diartikan dengan penguasa. Oleh karena itu secara spritual
kepemimpinan diartikan sebagai kemepuan melaksanakan perintah dan meninggalkan
larangan Allah SWT, baik secara bersama-sama maupun perseorangan.
2.
Faktor
Yang Mempengaruhi Kepemimpinan Dalam
Islam adalah. faktor keulamaan, intelektual, kepeloporan, keteladanan dan
manajerial.
3.
Cara Menyikapi Pemimpin yang Tidak Sesuai Dengan Ajaran Islam
yaitu dengan cara Memberikan Nasihat, tidak
mentaatinya dan mencopot jabatannya.
3.2. saran
Dalam penulisan makalah ini, penulis
menyadari masih banyak kesalahan dan kekurangannya, makadariitu penulis
mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar lebih baik mendatangnya.
Winning303
ReplyDeleteAgent Tembak ikan
Slot Joker Terlaris Zaman now
Mari bermain bersama kami
Sekarang juga
dapatkan berbagai macam Bonus menarik langgsung dari kami.
Customer Service 24 Jam
Hubungi Kami di :
WA: +6287785425244