Banyak pendapat
mengenai “terkucilnya Islam yang nyaris menyeluruh dari pemerintahan” dan
“tidak ada dikotomi apapun yang benar-benar bersifat agama dan yang tidak”
seolah-olah dimentahkan dengan lahirnya ICMI, Islam tidak lagi dikucilkan.
Menurut Dawam Rahardjo, ide pendirian suatu organisasi seperti ICMI sudah lama
beredar di kalangan cendekiawan Islam. Berawal dengan suatu pertemuan
cendekiawan Muslim pertama tahun 1984 yang diselenggarakan oleh Majlis Ulama
Indonesia, MUI, dua universitas Islam, dan 4 lembaga swadaya masyarakat, yang
dimotori oleh Lembaga Studi Agama dan Filsafat, LSAF. Pada tahun 1987 dalam
suatu pertemuan cendekiawan muslim di kampus Universitas Djuanda, Bogor, dalam
“patronase” Letnan Jenderal,
purnawirawan, Alamsyah Ratu Perwiranegara, tercetus lagi gagasan untuk
membentuk ikatan cendekiawan muslim. Karena inisiatif yang hampir sama muncul
juga dari Makassar dan Surabaya maka diambil suatu jalan tengah “dibawah
kepemimpinan sidang Letjen (purn.) Achmad Tirtosudiro” dan dibentuk sebuah
forum dengan nama Forum Komunikasi Pembangunan Indonesia”, FKPI. Menurut
Rahardjo inilah cikal-bakal sesungguhnya ICMI. Dengan begitu apa yang terjadi
di Malang bulan Desember 1990 hanyalah suatu gerak terakhir dari seluruh proses
di mana B. J. Habibie diangkat menjadi Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim
Indonesia.
Pada 6 Desember 1990, masyarakat Indonesia menyaksikan sosok
Presiden Suharto berpakaian tradisional santri, menabuh bedug menandai kongres
pertama Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI). Untuk banyak kalangan
Muslim Indonesia, peristiwa ini menandakan restu presiden kepada ICMI merupakan
awal dari rangkaian pendekatan pemerintah terhadap masyarakat Muslim pada masa
itu. Apakah restu ini hanya merupakan strategi oportunistik untuk mendapatkan dukungan
orang Islam? Atau, seperti diungkapkan banyak anggota ICMI, apakah tindakan
presiden lebih merupakan pengaruh oleh pengakuannya terhadap
perubahan-perubahan besar pada masyarakat Indonesia, khususnya menguatnya
kalangan Islam?
Awal
Mula Berdirinya Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia
Ide awal Ikatan
Cendekiawan Muslim Indonesia sangat sederhana. Bermula dari ide lima mahasiswa
Fakultas Teknik Universitas Brawijaya. Pada awalnya, mereka merencanakan
simposium cendekiawan muslim ini berlangsung pada tanggal 29, 30 September
1990, dan 1 Oktober 1990 dan mengundang B. J. Habibie sebagai pembicara. Lalu
ide ini terus berkembang dan rencananya pun berubah. Jadwal simposium diundur
dan pembicara serta pesertanya diperluas. Maka pembicaraan tentang ICMI pun semakin
merebak[1][1].
Pada tanggal 6-9
Desember 1990 di Malang, Jawa Timur, diadakan simposium cendekiawan yang
dihadiri 500 peserta dengan tema “Membangun masyarakat Indonesia abad 21”.
Simposium ini menghasilkan sebuah organisasi baru yaitu Ikatan Cendekiawan
Muslim Indonesia. Pertemuan ini dibuka oleh Presiden Soeharto dan ditutup oleh
Wakil Presiden Sudharmono. Para peserta pertemuan ini terdiri dari intelektual
–intelektual muslim terkemuka di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa pertemuan
ini bukanlah hal yang main-main[2][2].
Arti
Cendekiawan
Cendekiawan dalam
arti intelektual mengandung syarat-syarat tertentu. Soedjatmoko contohnya,
adalah seseorang yang tidak pernah lulus perguruan tinggi, namun ia diakui
sebagai cendekiawan besar karena ia melahirkan tulisan ilmiah mengenai ide-ide
sosial dan kemanusiaan. Cendekiawan tidak perlu seorang sarjana, bahkan sarjana
sendiri belum tentu merupakan seorang cendekiawan. Kriteria cendekiawan yang
umumnya disepakati salah satunya adalah, cendekiawan memiliki sikap dan visi
intelektual yang mengatasi batas-batas disiplin, yang memiliki komitmen kuat
pada kemanusiaan, harkat, nilai-nilai, aspirasi dan hati nurani yang memiliki
sikap kritis dan mandiri.
Dalam ART
ICMI Bab I Pasal I, Cendekiawan muslim didefinisikan sebagai orang Islam yang
peduli terhadap lingkungannya, terus menerus meningkatkan kualitas iman dan
taqwa, kemampuan berpikir, menggali, memahami dan menrapkan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta kehidupan keagamaan dalam kehidupan sosial kemasyarakatan untuk
diamalkan bagi terwujudnya masyarakat madani.
Tujuan
dan Fungsi ICMI
Saat pertama kali
didirikan, ICMI diketuai oleh Prof. Dr. B. J. Habibie, selaku Menteri Negara
Riset dan Teknologi. Hal ini sesuai dengan maksud didirikannya ICMI yaitu
meningkatkan kemampuan umat Islam dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.
Pilihan ini tepat karena penguasaan iptek akan menjadi faktor penentu bagi
suksesnya pembangunan Indonesia di abad ke-21[3][3].
Seperti tertulis
dalam anggaran dasarnya, ICMI bertujuan mewujudkan tata kehidupan masyarakat
madani yang diridhoi Allah subhanahu wata'ala dengan meningkatkan mutu keimanan
dan ketaqwaan, pemahaman dan pengamalan ajaran Islam, kecendekiawanan dan peran
serta cendekiawan muslim se-Indonesia. ICMI merupakan ormas yang berasaskan
Islam dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Dalam berorganisasi, ICMI memiliki 3 sifat yakni ke-Islaman dan ke-Indonesiaan;
keilmuan, kepakaran, kecendekiawanan, dan kebudayaan; serta keterbukaan,
kebebasan, kemandirian, dan kekeluargaan.
Dari perspektif
politik, kehadiran ICMI ini memiliki pengertian strukturalistik. Dengan
berhimpun dalam satu wadah, sumber daya intelektual dan spiritual akan
memperkaya wahana dan infrastruktur umat Islam. Basis ini dengan sendirinya
akan memberi peluang untuk mengasah sumber-sumber kekuasaan agar menjadi
kekuatan politik yang fungsional. Akses politik Islam akan menjadi semakin
terlihat. ICMI diharapkan menjadi salah satu institusi yang memperkuat
interaksi Islam sebagai kekuatan politik dengan birokrasi dan pembuat
keputusan. Dari proses interaksi ini, diharapkan keluar
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang berguna bagi pembangunan kesejahteraan umat
dan peningkatan kualitas manusia serta pengembangan bidang spiritual.
Menurut Emil Salim,
ICMI merupaka wadah yang terbuka bagi seluruh intelektual Islam. Potensi
cendekiawan muslim yang berasal dari aliran apapun, warna politik manapun, dari
kelompok manapun, selama ia muslim dapat dihimpun dalam kesatuan cendekiawan
muslim. Menurut Nurcholis Madjid, munculnya ICMI adalah akibat dari pertumbuhan
masyarakat Islam di Indonesia[4][4].
Kegiatan-kegiatan
ICMI
Guna mewujudkan
tujuannya dan dalam rangka menegakkan kebajikan, mencegah kemungkaran, ICMI
menyelenggarakan kegiatan-kegiatan berikut:
1.
Meningkatkan mutu komitmen dan
pengamalan keimanan-ketaqwaan, kecendekiawanan, dan kepakaran para anggota
melalui peningkatan pembelajaran dan koordinasi sistem jaringan informasi dan
komunikasi di dalam maupun di luar negeri.
2.
Mengembangkan pemikiran, menyelenggarakan
penelitian dan pengkajian yang inovatif, strategis, dan antisipatif dalam
rangka mempengaruhi kebijakan publik serta berupaya merumuskan dan memecahkan
berbagai masalah strategis lokal, regional, nasional dan global.
3.
Berperan aktif mengembangkan sistem
pendidikan dan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan masyarakat dan bangsa, khususnya umat Islam Indonesia.
4.
Menyelenggarakan berbagai kegiatan
pemberdayaan dan advokasi kebijakan di bidang sosial, ekonomi, hukum, danbudaya
dalam rangka meningkatkan taraf hidup dan martabat rakyat kecil dan kaum yang
lemah guna mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
5.
Mempublikasikan dan mengkomunikasikan
hasil-hasil pemikiran, penelitian, kajian, dan inovasi bekerjasama dengan
berbagai kalangan, baik perorangan, lembaga, perhimpunan, pemerintah maupun
swasta.
Struktur
Organisasi ICMI
Struktur Organisasi
ICMI terdiri atas Organisasi Satuan (Orsat) dengan lingkup kecamatan,
Organisasi Daerah (Orda) untuk lingkup Kabupaten/Kota, Organisasi Wilayah
(Orwil) untuk tingkat Propinsi, dan Organisasi Pusat yang berskala nasional.
Apabila disuatu daerah tertentu terdapat kasus khusus, maka untuk mempermudah
pengaturan administrasi dan koordinasi dapat dibentuk Organisasi Wilayah. Jika
diperlukan Badan Otonom, Batom ini dapat dibuat dan dipertanggungjawabkan
kepada ketua koordinasi Batom sesuai dengan jenjang organisasinya. Batom adalah
Badan Otonom milik ICMU yang melakukan kegiatan Usaha yang secara otonom untuk
memajukan ICMI dan anggotanya yang didasari kepada transparansi dan
akuntabilitas serta mempertanggungjawabkannya kepada pengurus ICMI sesuai
dengan jenjang organisasi.
ICMI adalah
organisasi cendekiawan muslim yang mnghimpun berbagai unsur cendekiawan dari
berbagai kalangan masyarakat. Untuk memelihara dan melestarikan persatuan dan
kesatuan banga, ICMI melakukan kerjasama dengan pemerintah, organisasi
cendekiawan lain, ormas-ormas, dan berbagai unsur kalangan masyarakat.
Adam Schwartz
menyebutkan ada tiga kelompok besar yang menjadi inti ICMI. Yang pertama adalah
birokrat pemerintah dan ‘teknolog’ yang bekerja dibawah Habibie, ditambah
dengan sekumpulan pemimpin Golkar, profesor universitas, pebisnis dan
menteri-menteri kabinet yang didorong untuk memasuki organisasi ini ketika ICMI
mulai mendapatkan bentuknya di awal 1991. Kelompok kedua termasuk tokoh-tokoh
dan pemikir Muslim moderat yang merasa senang dengan ICMI sebagai forum
intelektual di mana kam Muslim yang memiliki perhatian dapat berdiskui bagaimana
Islam dapat dibuat menjadi kekuatan sosial yang lebih positif dalam Indonesia
modern dan bagaimana pengajaran Islam dapat diubah untuk memperbaiki keadaan
ekonomi kaum Muslim yang miskin. Anggota jenis ini termasuk Nurcholis Madjid,
Emil Salim dan lain sebagainya. Kategori ketiga terdiri dari sebagian besar
pemimpin Islam di luar pemerintah dengan rencana yang lebih ambisius untuk
ICMI. Mereka lebih menyukai suatu kendaraan politik yang lebih aktif mewakili
Muslim modernis. Lebih dari kedua kelompok sebelumnya, mereka lebih bertanggung
jawab terhadap ide-ide yang menngerakan ICMI. Akibatnya mereka menganggap
dirinya sebagai ‘ICMI yang sesungguhnya’. Mereka juga mewakili sayap yang lebih
mendapatkan perhatian militer dan yang ingin dirangkul Soeharto. Para anggota
kelompok ini diantaranya adalah Amien Rais, Sri Bintang Pamungkas dan lain-lain[5][5].
Pengaruh
ICMI
Pengaruh ICMI cukup besar
di tahun 1990an, pada awal pembentukannya. Hal ini tidak dapat dipungkiri
karena BJ Habibie, ketua ICMI merupakan orang kepercayaan Presiden Soeharto.
Sepak terjang ICMI di masa Orde Baru cukup kuat. Pemikiran-pemikiran yang maju
dan kontroversial akan diikuti oleh pihak lain. Salah satu pencapaiannya adalah
berdirinya Bank Muamalat, sebuah bank yang berbasis syariah yang merujuk pada
kaidah-kaidah hukum Islam. Selain itu, haru dicatat pula berdirinya Koran
Republika, yang bertujuan menjadi wadah bagi hasil karya, ide-ide dan
kreativitas serta pemikiran para cendekiawan muslim dalam bentuk tulisan atau
karangan, telah membentuk sebuah cara pandang baru tentang Islam terhadap dunia
bagi semua orang[6][6].
Penolakan
terhadap ICMI
ICMI mengambil
keuntungan dengan memperoleh posisi kesutu dalam diskursus agama Orde Baru di
mana agama adalah kekuasaan dan menghapuskan apa saja yang memberi kesan adanya
dikotomi antara agama dan bukan agama dari satu proses kepada proses lain. Di
sana dilibatkan unsur-unsur institusi agama, militer, dan birokrat lainnya.
Dari satu fase ke fase lainnya ICMI demikian tergantung pada “ya” atau “tidak” yang
diberikan para penguasa. Bukan sesuatu yang tanpa maksud bila di sana disebut
jenderal-jenderal, bahwa mereka sudah pensiun tidak menjadi soal di sini, dan
para birokrat Orde Baru lainnya yang mengambil prakarsa atau pendiri ICMI. Pada
tahun 1984 tergantung “ya” atau “tidak” MUI dan Menteri Agama; pada tahun 1987
alasan yang sama dikemukakan, dan pada tahun 1990 mendapatkan suatu “YA” besar
dari presiden republik Indonesia yang menugaskan wakilnya menjadi ketua suatu
ikatan cendekiawan.
Dengan memasuki
proses ini dapat dipahami bagaimana dalam satu tarikan ICMI membongkar seluruh
paham tentang kaum cendekiawan. Di mana pun dalam sejarah hampir tidak pernah
ditemukan adanya organisasi bagi makhluk yang menganggap dirinya paling merdeka
di dunia karena organisasi dianggap selalu mengikat. Semua mengenal organisasi
profesional seperti ikatan ahli ilmu politik, ikatan ahli ilmu sosiologi dan
lain sebagainya, akan tetapi belum pernah ada suatu organisasi kaum
intelektual. ICMI memporak-porandakan paham bahwa kaum cendekiawan adalah
makhluk merdeka karena sebagian pasti dekat dengan modal, sebagian lagi dekat
dengan kekuasaan, dan sisanya dekat dengan keduanya.
Pendirian ICMI tidak
dengan sendirinya membangkitkan persetujuan kaum cendekiawan yang lain.
gabungan dalam suatu aliasnsi antara rezim Orde Baru dengan suatu organisasi
cendekiawan Muslim menimbulkan kekhawatiran beberapa kalangan. Abdurrahman
Wahid, ketua PBNU saat itu, menolah mentah-mentah ICMI dan mengatakan bahwa
ICMI menyebarkan sekterianisme. NU sebagai organisasi menolak masuk ke dalam
ICMI. Dipihak lain, Abdurrahman Wahid membentuk Forum Demokrasi—bersama-sama
sejumlah cendekiawan “bebas”, termasuk beberapa orang yang sudah duduk di dalam
ICMI—pada tahun 1991, hanya berselang beberapa bulan setelah ICMI terbentuk.
Forum Demokrasi, dengan Abdurrahman Wahid sebagai ketuanya, sama sekali tidak
penting dari segi organisasi. Namun, gabungan antara kaum agama dan kaum
sekuler yang mengumumkan niat untuk berkoalisi dengan siapa saja yang membuka
jaan menuju Indnesia yang demokratis membuat pemerintah Orde Baru
khawatir—terutama penyebutan kata demokrasi tanpa embel-embel Pancasila. Kalau
kelahiran ICMI sepenuhnya didukung pemerintah Orde baru, Forum Demokrasi justru
sebaliknya. Mereka dilarang membentuk cabang dan hanya diperkenankan berdiri
sebagai forum, tidak diperkenankan menjadi organisasi yang melantik anggota.
DAFTAR PUSTAKA
Dhakidae,
Daniel, Cendekiawan dan Kekuasaan dalam
Negara Orde Baru, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2003
Hefner,
Robert W., ICMI dan Perjuangan Menuju
Kelas Menengah Indonesia, Penerjemah : Endi Haryono, Yogyakarta: Tiara
Wacana Yogya, 1995
_____,
ICMI DAN HARAPAN UMAT, Editor : Abrar
Muhammad, Jakarta : Yayasan Pendidikan Islam RUHAMA, 1991
Tempo
No. 41 tahun XX, 8 Desember 1990
Sumber
internet:
www.icmi.or.id (website resmi ICMI)
www.icmiriau.net (website resmi ICMI Riau)
[3]Abrar Muhammad (Editor), ICMI DAN
HARAPAN UMAT, Yayasan Pendidikan Islam RUHAMA, Jakarta, 1991 Hlm. 14
[6] http://www.id.voi.co.id/voi-dignitorial/7140-darah-segar-icmi-untuk-perjuangan-bangsa-indonesia.html diakses pada 19 Desember 2010 pukul 18:45 WIB
No comments:
Post a Comment